Koneksi Antar Materi Modul 1.4


Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Perkenalkan, saya Erwin, Calon Guru Penggerak Angkatan 11 dari Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Pada kesempatan ini, saya akan menjelaskan hubungan antar materi pada modul 1.1 hingga 1.4 dalam program Guru Penggerak. Materi-materi ini akan saya kaitkan dengan pertanyaan-pertanyaan kunci untuk memperjelas pemahaman kita. Mari kita simak bersama penjelasan berikut:

Sejauh mana pemahaman Anda tentang konsep-konsep inti yang telah Anda pelajari di modul ini, yaitu: disiplin positif, teori kontrol, teori motivasi, hukuman dan penghargaan, posisi kontrol guru, kebutuhan dasar manusia, keyakinan kelas, dan segitiga restitusi. Adakah hal-hal yang menarik untuk Anda dan di luar dugaan?

Dalam budaya kita, makna kata ‘disiplin’ dimaknai menjadi sesuatu yang dilakukan seseorang pada orang lain untuk mendapatkan kepatuhan. Kita cenderung menghubungkan kata ‘disiplin’ dengan tantangan. Padahal disiplin merupakan sesuatu hal yang perlu ditanamkan pada diri setiap individu.

Pada pokok bahasan lain banyak sekali informasi – informasi baru yang menyadarkan diri saya bahwa dalam mendidik anak terdapat nilai – nilai yang dapat dikolaborasikan dalam menciptakan budaya positif. Sebagi contoh pada materi gaya kepemimpinan guru, berdasarkan pada teori Kontrol Dr. William Glasser, Gossen berkesimpulan ada 5 gaya kepemimpinan yang diterapkan seorang guru, orang tua ataupun atasan dalam melakukan kontrol. Kelima gaya kepemimpinan tersebut adalah Penghukum, Pembuat Rasa Bersalah, Teman, Pemantau dan Manajer. Bersama-sama, kita bisa belajar bahwa posisi saya berada pada penghukum dan pembuat rasa bersalah. Tentunya hal ini sangat tidak sejalan dengan filosofi pembelajaran yang diinginkan oleh ki hajar dewantara dimana kita harus bisa menghargai potensi peserta didik dan menuntun kodrat anak sesuai dengan zamannya. Dalam memberikan pelayanan ke siswa/ mempunishment kita sebagai guru harus bisa berada pada posisi manager, ada langkah dan tahapan yang harus kita lakukan dalam mendidik anak terkait dengan kesalahan yang mereka buat.

Hal kedua yang tak terduga selama mempelajari modul 1.4 yaitu terkait keyakinan kelas, selama ini saya hanya berpikir bahwa tidak ada suatu keyakinan namun hanya sebatas aturan kelas, ternyata dua hal tersebut merupakan sesuatu yang berbeda, keyakinan kelas merupakan suatu kesepakatan yang tidak tertulis namun dipahami oleh seluruha anggota kelas yang wajib dipatuhi tanpa perlu ada dorongan dari luar dan rasa itu muncul dari diri siswa sendiri. Pada materi segitiga restitusi kita diajarkan menyelesaikan kasus yang biasa terjadi di sekolah dengan tahapan dari menstabilkan identitas, memvalidasi tindakan yang salah dan menanyakan keyakinan, dimana selama ini saya hanya langsung memberikan konsekuensi yang mendidik tanpa mengikuti langkah dari segitiga restitusi tersebut.

Informasi yang saya peroleh dari modul 1.4 linier dengan pemahaman pada materi sebelumnya, dimana untuk mewujudkan pemikiran KHD dapat menerapkan informasi dalam materi budaya positif, nilai dan peran guru penggerak dapat terwujud dengan dukungan dari penerapan budaya positif

Perubahan apa yang terjadi pada cara berpikir Anda dalam menciptakan budaya positif di kelas maupun sekolah Anda setelah mempelajari modul ini?

Permasalahan utama adalah bahwa anak tersebut melakukan kesalahan. Selain itu, penerapan budaya positif di sekolah sangat penting karena dapat mempercepat tercapainya tujuan pendidikan. Untuk mencapai hal ini, diperlukan kesadaran dan partisipasi dari seluruh warga sekolah.

Langkah pertama dalam penerapan budaya positif adalah menciptakan kebiasaan-kebiasaan positif. Kebiasaan ini, jika dilakukan secara konsisten, akan berdampak pada terbentuknya budaya positif di sekolah. Dengan demikian, seluruh warga sekolah perlu bekerja sama dan berkomitmen untuk membangun lingkungan yang mendukung perkembangan positif bagi semua siswa.

Pengalaman seperti apakah yang pernah Anda alami terkait penerapan konsep-konsep inti dalam modul Budaya Positif baik di lingkup kelas maupun sekolah Anda?

Pengalaman saya terkait penerapan budaya positif adalah keinginan untuk menyelesaikan masalah dengan pendekatan tersebut. Namun, seringkali masalah tersebut berbenturan dengan aturan sekolah. Menurut saya, kita tidak bisa menerapkan segitiga restitusi pada kasus-kasus tertentu, seperti anak yang terlibat dalam tindakan kriminal. Apakah cukup dengan menerapkan segitiga restitusi?

Inilah yang ingin saya bangun dengan menyadarkan seluruh komponen warga sekolah untuk bertindak preventif dalam menekan masalah yang timbul di sekolah. Saya ingin memposisikan diri sebagai manajer, namun kebiasaan dan budaya di sekolah saat ini masih menerapkan hukuman sebagai tindakan yang paling efektif dalam mendisiplinkan anak.

Bagaimanakah perasaan Anda ketika mengalami hal-hal tersebut?

Selama ini, saya merasa bahwa dalam mendisiplinkan siswa, saya masih berperan sebagai penghukum yang berada dalam posisi kontrol. Saya ingin memposisikan diri sebagai seorang manajer dan memperbaiki kesalahan yang telah saya lakukan sebelumnya. Dengan menempatkan diri sebagai manajer, saya merasa bahagia ketika mampu mendisiplinkan siswa dengan cara terbaik sehingga mereka memiliki nilai budaya positif dari dalam diri mereka sendiri, bukan karena adanya stimulus atau rangsangan dari luar.

Saya merasa lebih tertantang untuk mengimplementasikan peran sebagai pendidik sekaligus manajer dan menjelaskan segitiga restitusi dalam menyelesaikan beberapa kasus indisipliner siswa. Dengan demikian, siswa dapat dilatih untuk mempertanggungjawabkan perilaku mereka dan didukung dalam menemukan solusi atas permasalahan yang mereka hadapi.

Menurut Anda, terkait pengalaman dalam penerapan konsep-konsep tersebut, hal apa sajakah yang sudah baik? Adakah yang perlu diperbaiki?

Menurut saya, sekolah saya sudah menerapkan budaya positif, yang diwujudkan melalui kegiatan-kegiatan seperti apel bersama, sholat berjamaah, dan aktivitas kolaboratif lainnya yang dapat membentuk karakter budaya positif. Namun, yang perlu dikembangkan lebih lanjut adalah sosialisasi nilai kebajikan yang harus dimiliki setiap anak serta pemahaman tentang keyakinan kelas, karena masih banyak guru dan murid yang belum memahami perbedaan antara keyakinan kelas dan aturan kelas.

Selain itu, posisi kontrol yang selama ini masih berada pada posisi penghukum dan pembuat rasa bersalah perlu diperbaiki. Ke depannya, saya ingin berada dalam posisi sebagai manajer dalam menyelesaikan masalah pada anak.

Sebelum mempelajari modul ini, ketika berinteraksi dengan murid, berdasarkan 5 posisi kontrol, posisi manakah yang paling sering Anda pakai, dan bagaimana perasaan Anda saat itu? Setelah mempelajari modul ini, posisi apa yang Anda pakai, dan bagaimana perasaan Anda sekarang? Apa perbedaannya?

Sebelum mempelajari modul posisi kontrol, saya sering berperan sebagai penghukum dan pembuat rasa bersalah saat berinteraksi dengan siswa. Saat itu, saya merasa dua pendekatan tersebut adalah cara yang benar dan terbaik karena sudah menjadi kebiasaan sejak masa sekolah dan awal karier saya sebagai guru. Meskipun metode ini kadang berhasil, seringkali gagal dan masalah yang sama berulang kembali, menunjukkan hasil yang hanya sementara.

Setelah mempelajari teori posisi kontrol, saya mulai berperan sebagai pemantau dan manajer. Perasaan saya menjadi lebih tenang, dan siswa lebih mudah menerima serta menyadari kesalahan mereka. Hal ini membuat mereka terdorong untuk berubah dari dalam diri mereka sendiri, bukan karena paksaan atau rangsangan dari luar. Perbedaan yang paling menonjol adalah bahwa perubahan siswa bersifat sementara jika kita berperan sebagai penghukum, sedangkan sebagai manajer, perubahan tersebut lebih permanen dan siswa lebih termotivasi untuk memperbaiki kesalahan mereka.

Sebelum mempelajari modul ini, pernahkah Anda menerapkan segitiga restitusi ketika menghadapi permasalahan murid Anda? Jika iya, tahap mana yang Anda praktekkan dan bagaimana Anda mempraktekkannya?

Sebelumnya, saya sudah mencoba menerapkan langkah-langkah segitiga restitusi, tetapi tidak secara urut dan benar. Saya hanya memvalidasi tindakan yang salah dan kemudian melanjutkan dengan proses menghukum, sehingga dua langkah lainnya dalam segitiga restitusi tidak dilakukan.

Selain konsep-konsep yang disampaikan dalam modul ini, adakah hal-hal lain yang menurut Anda penting untuk dipelajari dalam proses menciptakan budaya positif baik di lingkungan kelas maupun sekolah?

Selain filosofi Ki Hajar Dewantara, budaya positif juga sangat terkait dengan nilai dan peran guru penggerak serta visi mereka. Peran guru penggerak sebagai pemimpin pembelajaran dan dalam mewujudkan kepemimpinan murid sangat penting. Sebagai pemimpin pembelajaran, guru harus menciptakan lingkungan dan kondisi yang menyenangkan bagi siswa. Melalui keyakinan kelas, lingkungan belajar yang menyenangkan dapat tercipta, tidak hanya berpedoman pada aturan kelas.

Keyakinan kelas dibuat oleh seluruh warga kelas dan disepakati bersama, sehingga siswa merasa lebih nyaman dibandingkan dengan peraturan kelas yang penuh dengan hukuman dan sanksi. Selain itu, melalui keyakinan kelas, restitusi dapat mendidik siswa untuk mandiri dan bertanggung jawab dalam mengatasi masalahnya sesuai dengan keyakinan sekolah yang telah dipahami oleh siswa. Dengan menciptakan budaya positif di mana guru berperan sebagai manajer dalam menghadapi murid, murid akan mampu menjadi manajer bagi dirinya sendiri. Tindakan sebagai penghukum harus segera diubah menjadi peran sebagai manajer. Dengan mengurangi posisi kita sebagai penghukum, siswa akan merasa lebih nyaman dalam kegiatan belajar mengajar. Selain itu, budaya positif akan lebih mudah terlaksana jika mendapat dukungan dari seluruh warga sekolah.

Demikian pemaparan tentang koneksi antar materi pada modul 1.4 Budaya Positif. Selanjutnya, kita akan melihat tabel rencana aksi yang lebih efektif, konkret, dan realistis untuk mewujudkan budaya positif di sekolah. Rencana tersebut dituangkan dalam tabel berikut ini.







Rancangan Tindakan Untuk Aksi Nyata


Judul Modul : Pembuatan Keyakinan Kelas dan Penerapan Segitiga Restitusi sebagai perwujudan budaya positif di UPT SPF SD Inpres Buttatianang II

Nama Peserta : Guru Dan Tenaga Kependidikan

Latar Belakang

Visi UPT SPF SD Inpres Buttatanang II adalah "Berimtaq, Unggul, Beradab dan Peduli Lingkungan" Untuk mencapai visi tersebut, diperlukan penerapan budaya positif. Hal ini dilakukan dengan membiasakan perilaku positif sehingga kebiasaan tersebut menjadi budaya yang dipahami oleh semua orang. Menghilangkan hukuman yang membuat murid merasa tidak nyaman dan hanya patuh saat di sekolah, serta mengurangi penghargaan untuk mengubah karakter murid.

Kunci utama dalam menerapkan disiplin positif adalah merumuskan keyakinan sekolah dan keyakinan kelas. Murid harus mengetahui dan memahami keyakinan sekolah, karena dengan pemahaman tersebut, akan muncul motivasi intrinsik untuk melaksanakan disiplin positif. Selain merumuskan keyakinan sekolah dan kelas, untuk mewujudkan budaya positif di sekolah, guru dan tenaga kependidikan harus menggunakan metode yang melatih kemandirian murid dalam menyelesaikan masalah mereka, yaitu dengan menerapkan restitusi melalui tahapan segitiga restitusi.

Tujuan

  1. Mewujudkan budaya positif melalui pemahaman bersama tentang penerapan keyakinan sekolah dan kelas sebagai bentuk kesepakatan bersama.
  2. Menerapkan segitiga restitusi dalam menyelesaikan masalah murid di sekolah.
  3. Menciptakan lingkungan belajar yang nyaman bagi murid dengan menerapkan posisi kontrol sebagai manajer.
  4. Membangun komunikasi dua arah dengan murid untuk memahami kebutuhan dasar mereka.

Tolok Ukur

  1. Setiap kelas memiliki poster keyakinan kelas.
  2. Guru dan Tenaga Kependidikan dapat menerapkan segitiga restitusi dalam menangani permasalahan siswa.

Lini Masa Tindakan yang Akan Dilakukan:

  1. Menyusun modul dan mendiseminasikan budaya positif kepada rekan sejawat, baik guru maupun tenaga kependidikan.
  2. Melaporkan kepada kepala sekolah terkait program kerja yang ingin dicapai.
  3. Menyusun rencana kerja untuk penerapan keyakinan sekolah dan kelas serta restitusi, termasuk menyusun indikator ketercapaian penerapan keyakinan sekolah/kelas dan restitusi.
  4. Menyediakan poster atau bagan tentang keyakinan kelas.
  5. Mengevaluasi rencana program kerja dan menyusun umpan balik 360 derajat terkait program yang telah dirancang.

Dukungan yang Dibutuhkan:

  1. Dukungan dari kepala sekolah.
  2. Partisipasi guru dan karyawan dalam menerapkan posisi kontrol dan segitiga restitusi.
  3. Bekerja sama dengan tenaga kependidikan untuk program kerja, mulai dari diseminasi hingga penerapan di kelas.
  4. Membangun komunikasi dengan seluruh warga sekolah terkait program kerja yang telah disusun.

Posting Komentar untuk "Koneksi Antar Materi Modul 1.4"